Rabu, 17 Desember 2014

Pernikahan; kebutuhan, keinginan, keharusan, atau keterpaksaan

Sebuah pertanyaan dari seorang teman menggelitik otak saya. Pertanyaan yang pasti kalian juga sudah pernah mendapatkannya entah tempo hari, sekarang, atau nanti... pertanyaan itu adalah "kapan nikah..?"
Pertanyaan semacam "kapan nikah..?" bisa dikategorikan sebagai loaded question (pertanyaan yang berisi asumsi si penanya) Orang yang menanyakan hal itu berasumsi bahwa suatu saat saya akan menikah, tetapi kenapa sampai sekarang belum menikah, seolah olah menikah adalah suatu keHARUSan.



Saya tidak menyalahkan orang bertanya begitu kepada saya, wajar bahkan. cuma heran aja orang jaman sekarang masih menganggap menikah itu keharusan, bahkan banyak yang menganggap itu kebutuhan. MEMANGNYA KALO GA NIKAH KENAPA..? MATI..? KESEPIAN..? GA BISA BAHAGIA..? MISKIN..? STRES..? SAKIT..?
In My Humble Opinion, Nikah itu bisa jadi kebutuhan dalam konteks Status Sosial. Sedangkan sex juga merupakan kebutuhan dalam konteks bereproduksi menghasilkan keturunan. Teman Hidup pun juga kebutuhan dalam konteks psikologis. kebutuhan yang banyak itu harusnya bisa berdiri sendiri2, tetapi karena adanya norma agama dan norma umum yang berlaku, semua kebutuhan itu disatukan dalam satu paket berbentuk pernikahan. padahal tidak semua butuh sepaket. Coba lihat di sekitarmu berapa banyak yang nikahnya ama si A, have sex'nya ama si B, curhatnya ama si C, have fun'nya ama si D. Ada..? Banyak...!!

Menurut saya, menikah itu ikatan pria dan wanita yang disahkan secara hukum, kasar'nya: pacaran bersertifikat.  Kalo soal berpasangan, saling mencintai, bersama hingga tua, punya anak dan bahagia, itu bisa dilakukan tanpa pernikahan. Nah bedanya pacaran ama nikah ya cuma sertifikat itu tadi, Surat kawin. Trus yang kamu cari itu sebenarnya hubungan cintanya atau surat kawinnya?. Analoginya kamu kuliah bertahun tahun buat apa? Ilmunya atau Ijazahnya?  Kalo cuma Ijazah, tinggal beli bisa, ngeprint sendiri pun bisa.
Kalo menikah cuma buat sertifikat doank, buat apa? Masyarakat kita terobsesi dengan sertifikat, menilau segala sesuatu lewat selembar sertifikat dan melupakan esensi serta kualitas.

"Karena manusia diciptakan saling berpasangan" - Berpasangan emang harus nikah?
"Hadist Riwayat menyebutkan seburuk2nya jenazah adalah jenazah pembujang" - kalo yang bukan islam berlaku juga ga..?
"menikah adalah anjuran agama" - oooh, trus yang beda agama apa kabar tuh.?
"agamaku ga diajarkan nikah beda agama" - Milyaran orang di dunia ga semua memeluk agamamu le..
"orang yang menikah ga bakal selingkuh, karena sadar konsekuensi dari Tuhan" - yaelah, di komplek saya baru aja ada ustad digrebek selingkuh, di gereja pun pendeta selingkuh ama jemaatnya.
Cobalah pikir baik baik konteks bahasannya, jangan langsung protes debat bawa2 agama.. ga ngaruh buat saya

Aku ambil contoh deh, film seri Return of Condor Heroes, kisah Yoko dan bibi Leung. Mereka saling mencintai, berjanji sehidup semati selamanya. tanpa ada pesta, gak ada peresmian, ga pake sertifikat. Boleh ga kaya gitu..?
Dua manusia berjanji saling mencintai sampai mati, kalau mereka bisa membuktikan janjinya, apa masih perlu sertifikat?
Kemudian punya anak, dirawat penuh kasih sayang, diberikan pendidikan terbaik. Meraka tua bersama, melihat anaknya tumbuh dewasa, menggendong cucu lalu meninggal bahagia. Apakah masih perlu sertifikat? Pentingnya sertifikat dimana?

"Pacaran kalo ga nikah nanti ga sakral bro..!" - oooh, jadi sertifikat itu bikin sakral? tapi kenapa malah banyak yang cerai ya..?
"Kalo punya anak ga nikah nanti anaknya haram, ga legal, ga resmi, ga diakui, susah dapat akte" - TEETOOT..! itu adalah kesalahpahaman orang yang sangat umum. ini pembahasannya:
Setiap anak yang lahir di indonesia otomatis jadi warga negara dan berhak mendapatkan akte lahir, terlepas orang tuanya nikan atau tidak. kalo ortunya nikah di akte tertulis nama ayah & ibu, kalo ortunya ga nikah hanya tertulis nama ibu kandung saja.
Jangan pake argumen kalo orang harus nikah supaya anaknya legal. Itu argumen bodoh.

Ujung ujungnya, Pernikahan itu hanyalah formalitas dan legalitas untuk memenuhi syarat birokrasi negara. Jadi plis..jangan memaksakan diri atau memaksa orang lain untuk menghabiskan banyak waktu, tenaga, uang , dan pikiran hanya untuk formalitas pernikahan.
Sudah terlalu banyak hati yang hancur karena memaksakan diri untuk mendapat selembar sertifikat surat nikah

Inti bahasan saya cukup simple: esensi sebuah hubungan adalah hubungan itu sendiri dan manusia di dalamnya, bukan selembar sertifikat.
Saya bukan anti pernikahan, tapi anti pernikahan yang dilakukan hanya karena keharusan/kewajiban, sehingga lupa esensinya







*this article is credit to KeiSavourie, one of my teacher in life...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar